Beranda | Artikel
Kaedah Fikih (22): Bila Jadi Pengikut Berbeda dengan Berdiri Sendiri
Rabu, 17 Januari 2018

“Ada yang dihukumi boleh ketika jadi pengikut, namun tidak boleh ketika berdiri sendiri.” Ini kaedah fikih yang kita pelajari saat ini.

Syaikh As-Sa’di rahimahullah dalam bait sya’irnya berkata,

وَمِنْ مَسَائِلِ الأَحْكَامِ فِي اتَّبَعَ

يَثْبُتُ لاَ إِذَا اسْتَقَلَّ فَوَقَعَ

“Dan di antara masalah hukum yaitu menjadi pengikut

menjadi pengikut memiliki hukum tersendiri, berbeda jika berdiri sendiri.”

 

Disebutkan pula dengan ungkapan lainnya,

يَثْبُتُ تَبْعًا مَا لاَ يَثْبُتُ اِسْتِقْلاَلاً

“Ada yang dihukumi boleh ketika jadi pengikut, namun tidak boleh ketika berdiri sendiri.”

 

Penjelasan Kaedah

Kaedah ini berarti hukum ketika berdiri sendiri berbeda dengan hukum ketika bersama dengan yang lain.

Dalil kaedah ini adalah ayat yang menerangkan tentang siapa saja yang wanita boleh tampakkan perhiasannya (boleh tidak berhijab di hadapannya), di dalamnya disebutkan,

أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ

atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita)” (QS. An-Nuur: 31), ini disebut dengan tabi’ina li an-nisa’ (yang mengikuti wanita yang tidak lagi mempunyai syahwat, seperti orang yang idiot), dijadikan sama posisinya seperti anak-anak dan wanita, maka wanita tersebut boleh tidak berhijab dari mereka.

 

Contoh Kaedah

  1. Tidak boleh menjual sesuatu yang majhul (belum jelas) secara bersendirian. Namun boleh jika yang majhul itu menjadi pengikut yang lain (karena ketidakjelasannya dianggap sedikit), seperti pondasi bangunan. Jika kita membeli bangunan, pondasi juga ikut serta dibeli walaupun majhul.
  2. Ada hewan yang disebut hasyarat (hewan-hewan kecil, seperti lalat dan lebah). Tidak boleh hasyarat itu dimakan secara sendirian. Namun kalau tidak sengaja terikut seperti lalat dalam buah-buahan atau anak lebah dalam madu, maka dibolehkan.
  3. Kesaksian seorang wanita tidak dianggap dalam talak (perceraian). Namun jika ada seorang wanita yang menyatakan bahwa ia pernah menyusui pasangan suami-istri (yang saat ini sudah menikah), maka kesaksian ia dalam persusuan ini dianggap dan nikah pasangan suami-istri tadi menjadi fasekh (batal) karena masih ada hubungan mahram (persusuan).
  4. Boleh bagi orang yang beri’tikaf keluar masjid untuk memenuhi hajatnya sambil menjenguk orang sakit, namun menjenguk orang sakit secara bersendirian tidak boleh. Kata Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri, demikianlah pendapat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
  5. Membeli hewan yang sedang mengandung (hamil), dibolehkan sekaligus dengan isinya. Namun membeli isi kandungannya saja, tidak dibolehkan karena tidak jelas (majhul).

 

Kaedah Turunan

  1. Siapa yang memiliki sesuatu, maka ia juga memiliki ikutannya”. Seperti siapa yang membeli rumah, maka kunci, pintu, tembok, dan tanah.
  2. Yang jadi pengikut menjadi gugur dengan gugurnya yang diikuti”. Contoh, jika seseorang melunasi utang, maka yang menjamin (dhamin dan kafil) pun menjadi bebas.
  3. Siapa yang jadi pengikut, tidak boleh mendahului yang diikuti”. Contoh dalam shalat berjamaah, makmum tidak boleh posisinya berada di depan imam, begitu pula makmum tidak boleh melakukan gerakan yang mendahului imam.

Semoga kaidah fikih kali ini bermanfaat.

 

Referensi:

Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah. Cetakan Tahun 1420 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Darul Haromain

Risalah fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah. Cetakan pertama, Tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Pensyarh: Dr. Su’ud bin ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Al-Ghorik. Penerbit Dar At-Tadmuriyyah.

Syarh Al-Manzhumah As-Sa’diyah fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah. Cetakan kedua, 1426 H. Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir bin ‘Abdul ‘Aziz Asy-Syatsri. Penerbit Dar Kanuz Isybiliya.

Catatan berharga pada Rabu pagi @ Darush Sholihin, 30 Rabi’uts Tsani 1439 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com


Artikel asli: https://rumaysho.com/17027-kaedah-fikih-22-bila-jadi-pengikut-berbeda-dengan-berdiri-sendiri.html